hukum Islam di Indonesia

Assalamualaikum wr. wb…

makalah ini adalah makalah pengganti uas sistem hukum nasional. saya mengangkat tema mengenai hukum islam, karena itu adalah mata kuliah yang lumayan saya kuasai. meskipun nilai saya di mata kuliah ini tidak sesuai harapan, tapi saya tetap bangga sama makalah ini, karena saya ngerjainnya super niat. hehe. semoga makalah ini bisa membantu jadi sumber bacaan bagi yang memerlukan 🙂

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.

Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, hukum adatlah yang paling tua umurnya. Hukum adat telah sangat lama hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Sebelum tahun 1927 tidak ada yang menaruh perhatian pada perkembangan hukum adat, akan tetapi sejak tahun 1927, hukum adat mulai dipelajari dan diperhatikan dengan seksama agar tidak mengganggu pelaksanaan politik hukum pemerintah Belanda.

Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air. Belum ada kesepakatan oleh para ahli mengenai kapan Islam pertama kali masuk ke Indonesia. ada yang mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah (abad ke 7 Masehi), ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 (abad ke 13 Masehi). Meski tidak ada kepastian yang jelas mengenai kapan masuknya Hukum Islam, namun dapat dikatakan bahwa begitu Hukum Islam masuk ke Indonesia, Hukum Islam langsung diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama islam di Indonesia ini. hal ini dapat dilihat pada studi para pujangga yang hidup pada masa itu mengenai hukum Islam dan peranannya dalam menyelesaikan perkara – perkara yang timbul dalam masyarakat.

Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang – orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Pada awalnya hukum Barat hanya berlaku bagi penduduk Eropa beserta keturunannya, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang – undangan hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing (terutama Tionghoa) dan orang Indonesia. sebagai hukum golongan yang berkuasa pada waktu itu di Nusantara kita ini keadaan hukum Barat jauh lebih menguntungkan daripada keadaan dua sistem hukum yang sudah lebih dulu ada di masyarakat.

Hukum adat dan hukum islam adalah hukum bagi orang – orang Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera. Keadaan itu diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854. ketika masa penjajahan Belanda, perkembangan hukum Islam dan hukum Adat dikendalikan dengan adanya teori resepsi yang dikukuhkan dalam pasal 134 ayat (2) IS 1925 (1929). Akan tetapi setelah Belanda meninggalkan Indonesia dan Indonesia memerdekakan diri pada tahun 1945, hukum Adat dan hukum Islam sebagian kemudian menjadi berlaku dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang – undangan.

Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing, sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat universal. Hukum Islam adalah bagian dari agama Islam, sehingga juga bersifat universal. pada hakikatnya hukum Islam merupakan keyakinan yang melekat pada setiap orang yang beragama Islam, tidak peduli kapan dan dimanapun.

B. Identifikasi Masalah

  1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia?
  2. Bagaimana kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional?
  3. Apakah peran hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional?
  4. Apa sajakah produk hukum Islam yang menjadi muatan hukum nasional?

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. [1]Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.

Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.

Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.

Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.

Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini. Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.

Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.

Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah – daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad.

Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Selain itu, pemerintah Belanda memiliki keinginan yang kuat untuk menata dan mengubah hukum di Indonesia menjadi hukum Belanda, karena adanya anggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik daripada hukum yang telah ada di Indonesia. untuk melaksanakan maksud tersebut pemerintah Belanda kemudian mengangkat suatu komisi yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem yang bertugas untuk melakukan penyesuaian undang – undang Belanda itu dengan Indonesia.

Mengenai kedudukan hukum Islam dalam usaha pembaharuan tata hukum di Hindia Belanda, Scholten berpendapat bahwa hukum Islam sebaiknya tetap dibiarkan ada dalam masyarakat agar tidak terjadi hal – hal yang tidak menyenangan. Pendapat inilah yang mungkin menyebabkan pasal 75 RR menginstruksikan kepada pengadilan untuk mempergunakan undang – undang agama dan lembaga – lembaga kebiasaan mereka bila golongan bumi putera bersengketa, sejauh undang – undang dan kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Belanda. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.

Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad.

Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.

Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi sudah tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama, maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa. Pengadilan Agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam.

B. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional

Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat.[2] Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.

Berlakunya hukum Islam di Indonesia dan telah mendapat tempat konstitusional[3] menurut Abdul Ghani Abdullah berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan ini mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila; Kedua, alasan Sosiologis. Perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesiambungan; dan Ketiga, alasan Yuridis yang tertuang dalam pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.

Menurut mantan Menteri Kehakiman Ali Said pada pidatonya di upacara pembukaan Simposium Pembaruan Hukum Perdata Nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981,[4] hukum Islam terdiri dari dua bidang, bidang ibadah dan bidang muamalah. Pengaturan hukum yang bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedang pengaturan mengenai muamalah tidak terlalu rinci. Yang ditentukan dalam bidang muamalah hanyalah prinsip – prinsipnya saja. Pengembangan dan aplikasi prinsip – prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para penyelenggara negara dan pemerintahan. Oleh karena hukum Islam memegang peranan penting dalam membentuk serta membina ketertiban sosial umat Islam dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma – norma hukum Islam ke dalam hukum nasional, sepanjang norma tersebut sesuai dengan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 serta relevan dengan kebutuhan hukum khusus umat Islam. Menurut Ali Said, banyak asas yang bersifat universal terkandung dalam hukum Islam yang dapat digunakan dalam menyusun hukum nasional.

Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.

C. Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional

Pada tahap perkembangan pembinaan hukum nasional sekarang, menurut Daud Ali,[5] yang diperlukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional adalah badan yang berwenang merancang dan menyusun hukum nasional yang akan datang adalah asas – asas dan kaidah – kaidah hukum Islam dalam segala bidang, baik yang bersifat umum maupun khusus. Umum adalah ketentuan – ketentuan umum mengenai peraturan perundang – undangan yang akan berlaku di tanah air kita, sedangkan khusus contohnya adalah asas – asas hukum perdata Islam terutama mengenai hukum kewarisan, asas – asas hukum ekonomi terutama mengenai hak milik, perjanjian dan utang – piutang, asas – asas hukum pidana Islam, asas – asas hukum tata negara dan administrasi pemerintahan, asas – asas hukum acara dalam Islam dan lain – lain.

Masalah utama yang dihadapi oleh lembaga pembinaan hukum nasional adalah merumuskan asas – asas dalam hukum Islam tersebut ke dalam kata – kata jelas yang dapat diterima oleh semua golongan di pelosok tanah air, bukan hanya orang Islam saja. Tim pengkajian Hukum Islam Babinkumnas telah berusaha menemukan asas – asas tersebut dan merumuskannya ke dalam kaidah – kaidah untuk dijadikan untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional. Berbagai asas dapat dikembangkan melalui jurisprudensi peradilan agama, karena asas – asas ini dirumuskan dari keadaan konkret di tanah air kita, sehingga dapat lebih mudah diterima.

Konsep pengembangan hukum Islam,[6] secara kuantitatif begitu mempengaruhi tatanan sosial-budaya serta politik dan hukum dalam masyarakat. Kemudian, konsep tersebut lalu diubah arahnya yaitu secara kualitatif diakomodasikan dalam berbagai perundang – undangan yang dilegaslasikan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi dari pandangan ini selanjutnya disebut sebagai usaha transformasi hukum Islam ke dalam bentuk perundang – undangan.

Transformasi hukum agama menjadi hukum nasional[7] terjadi juga di beberapa negara muslim seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Libya. Yang berbeda adalah kadar unsur – unsur hukum Islam dalam hukum nasional negara – negara yang bersangkutan. Di negara – negara tersebut, hukum nasional mereka merupakan percampuran antara hukum barat dan hukum Islam, sementara di Indonesia, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan antara hukum adat, hukum Islam dan hukum eks-Barat.

D. Produk Hukum Islam di Indonesia

Di antara sebagian besar produk hukum Islam yang ada dalam sistem hukum nasional di Indonesia, umumnya memiliki tiga bentuk[8];

1. hukum Islam yang secara formil maupun materil menggunakan corak dan pendekatan keislaman.

2. hukum Islam dalam proses transformasi diwujudkan sebagai sumber – sumber materi hukum, di mana asas – asas dan prinsip – prinsipnya menjiwai setiap produk aturan dan perundang – undangan.

3. hukum Islam yang secara formil dan materil ditransformasikan secara persuasive source dan authority source.

Pada kenyataannya, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun materil tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, antara lain:

a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan. [9]Undang – Undang ini adalah hukum nasional yang berlaku bagi semua masyarakat apapun agamanya, hanya saja Ketentuan – ketentuan yang termaktub dalam undang – undang ini adalah hasil ijtihad umat Islam Indonesia, melalui para wakilnya di DPR bersama pemerintah, yang bersifat pengembangan pemahaman tentang hukum syariat atau hukum agama Islam mengenai perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah untuk kepentingan umat Islam Indonesia.

Pada pasal 1 Undang – Undang perkawinan, dimuat tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan tersebut sama dengan tujuan pernikahan yang dirumuskan dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Indonesia yaitu membentuk keluarga sakinah (tenang, tenteram, bahagia) yang dibina dengan cinta dan kasih sayang (mawaddah warrahmah). Tujuan untuk membina keluarga atau rumah tangga berdasarkan ajaran agama adalah sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang memerintahkan kepada orang – orang beriman untuk membina dan melindungi keluarga dan atau keturunannya dari siksa (api) neraka (QS. 66:6).

Hal lain yang merupakan pencerminan hukum Islam yang terdapat pada Undang – Undang Perkawinan adalah kedudukan istri yang seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Terdapat kemitraan antara suami dan istri, hanya saja kodratnya berbeda (sesuai dengan ajaran Islam, laki – laki memimpin dan menjadi penanggung jawab penghidupan dan kehidupan istrinya dalam keluarga). Ada pembagian pekerjaan, dan dalam undang – undang perkawinan hal itu dirumuskan dengan kata – kata “suami (laki – laki) sebagai kepala keluarga, dan istri (perempuan) sebagai ibu rumah tangga”. Kedudukan perempuan sebagai ibu rumah tangga tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan. Menurut Daud Ali, ini hanyalah pernyataan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab.

Pencerminan hukum Islam lainnya adalah ketika menyinggung soal harta bersama. Menurut Undang – Undang No. 1 Tahun 1974, bila terjadi perceraian, harta bersama dibagi antara janda dan duda yang bersangkutan secara berimbang. Menurut Kompilasi Hukum Islam yang berlaku untuk umat Islam di Indonesia, ketika terjadi cerai hidup, maka baik janda dan duda berhak atas ½ harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Peraturan lain dalam undang – undang perkawinan yang selaras dengan hukum Islam adalah soal perceraian. Pada Undang – Undang No. 1 Tahun 1974, proses perceraian sedikit dipersulit dan hanya dapat terjadi bila unsur – unsur pada pasal 39 ayat (2) terpenuhi. Dalam hukum Islam, perceraian halal hukumnya hanya saja tergolong kepada perbuatan yang dibenci Allah karena akibatnya yang buruk.

b. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Kini UU No. 3 Tahun 2006). Peradilan Agama bertugas untuk menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang – orang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta waqaf dan sadaqah (pasal 49 ayat (1)). Peradilan Agama telah menjadi peradilan mandiri yang sederajat dengan Peradilan Umum, Militer, dan TUN.[10] Sebelum undang – undang ini dikeluarkan, Peradilan Agama sebenarnya telah ada bahkan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Hanya saja kewenangan dan kedudukannya masih belum jelas. dengan dikeluarkannya undang – undang ini, maka jelaslah kewenangan dan hukum acara Peradilan Agama di seluruh Indonesia. Adanya peraturan ini juga akan lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah hukum Islam melalui jurisprudensi sebagai salah satu bahan baku dalam penyusuan dan pembinaan hukum nasional.

c. UU No. 72 Tahun 1992 tentang Perbankan Syari’ah, menetapkan bahwa perbankan syariah di Indonesia menganut dual banking system.[11]

1) UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari UU di atas, yang peraturan pelaksanaannya dituangkan dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia dan dikuatkan dalam bentuk peraturan Bank Indonesia. Penggunaan istilah bank syariah sudah tegas disebutkan “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah” dan pada Pasal 1 butir 13 disebutkan berlakunya hukum Islam sebagai dasar transaksi di perbankan syariah.

2) Teknis operasional produk dan transaksi syariah yang digunakan pada bank syariah diatur dalam Fatwa DSN MUI.

3) Eksistensi bank syariah diperkuat dengan adanya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memungkinkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.

4) UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

d. UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (diganti dengan UU No. 13 Tahun 2008).

e. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah. Undang – Undang ini lahir karena terinspirasi oleh situasi krisis moneter. Ketika itu, terbuka pikiran para cendekiawan Islam untuk mencari pintu keluar dari krisis moneter tersebut. Mereka yang dapat menyalurkan pikiran ke DPR melihat bahwa sesungguhnya ada potensi masyarakat yang dapat digali dan dikembangkan untuk membangun kekuatan ekonomi yang masih belum dilirik secara ekonomi maupun manajerial.

f. UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam.

g. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam.

h. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Tujuan dikeluarkannya undang – undang ini adalah untuk menertibkan prosedur kepengurusan dan tujuan wakaf, selain dari itu adalah untuk mengantisipasi penyalahgunaan terhadap tanah wakaf.

Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, antara lain:

a. PP No.9 Tahun 1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan, mengatur lebih lanjut mengenai prosedur perceraian. Sebagai eksistensi dari ketentuan agama, bahwa perceraian adalah hal yang dihalalkan dan tata cara perceraian harus menurut hukum agama sebagai hak dari suami untuk “cerai talak” sementara untuk “cerai gugatan” merupakan putusan dari hakim Pengadilan Agama.

b. PP No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

c. PP No.72 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

d. Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. [12]Sumber penyusunan kompilasi ini adalah wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah yang terdapat dalam kitab – kitab hadis, dan ra’yu melalui ijtihad yang tercermin dalam kitab – kitab fiqih, pendapat para ulama Indonesia, yurisprudensi peradilan agama yang diperoleh melalui jalur pengkajian kitab – kitab fiqih lama, jalur ulama khususnya ulama fiqih, jalur yurisprudendi, dan jalur studi perbandingan dengan negara – negara lain.

Garis – garis hukum Islam dituangkan ke dalam bahasa perundang – undangan dan disusun ke dalam tiga buku. Buku I mengenai Hukum Perkawinan, terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal. Buku II mengenai Hukum Kewarisan, terdiri dari 6 bab dengan 44 pasal (mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 214). Mengenai hukum kewarisan yang dimasukkan kepada buku II hanyalah pokok – pokoknya saja, sisanya akan menunggu pembentukan Undang – Undang Kewarisan Nasional yang akan datang. Buku III mengenai Hukum Perwakafan terdiri dari 5 bab dengan 44 pasal (pasal 215 sampai dengan pasal 228).

Isi dari Kompilasi Hukum Islam tersebut selain dari mengandung garis – garis hukum atau bagian – bagian hukum Islam yang sudah melekat pada masyarakat Muslim Indonesia, juga mengandung hal – hal baru yang bercorak Indonesia. Misalnya dalam hukum kewarisan disebut mengenai ahli waris pengganti, yang tidak ada dalam hukum Islam.

e. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.

Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.

Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata.

B. Saran

Sebagai saran, diharapkan untuk perkembangan hukum Islam selanjutnya dapat dikeluarkan lagi peraturan perundang – undangan mengenai apa yang belum ada sebelumnya. Sebagai contoh, anak adopsi. Islam tidak mengenal adanya anak adopsi, yang ada hanyalah anak asuh. Yang mengenal soal pengangkatan anak hanyalah hukum barat dan hukum adat. Bila peraturan mengenai adopsi / asuh dikeluarkan menurut hukum Islam maka akan menimbulkan kepastian hukum bagi anak – anak asuh / adopsi maupun orangtuanya.

Selanjutnya adalah mengenai perkawinan antar agama yang belum diatur dengan gamblang di Undang – Undang Perkawinan. Seharusnya, dimuat aturan yang jelas mengenai laki – laki muslim yang diperbolehkan menikah dengan perempuan non muslim, atau perempuan muslim yang diharamkan menikah dengan laki – laki non muslim. Selama ini karena peraturannya tidak ada maka banyak orang memilih untuk menikah di luar negeri. Bila peraturannya ada, maka batas antara larangan dan bukan akan terlihat jelas.

DAFTAR PUSTAKA

  • Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
  • Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
  • Dr. Amir Machmud & H. Rukmana, S.E., M.Si., Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.
  • Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.
  • Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V. Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994.

[1] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 230 – 226.

[2] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., op,cit., 1990, hlm. 226.

[3] Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V. Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994 , hIm. 94 – 106.

[4] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., op,cit., hlm. 272 – 278.

[5] Ibid, hlm. 266 – 278.

[6] Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010. hlm. 14.

[7] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., op,cit., hlm. 276.

[8] Didi Kusnadi. op,cit., hlm. 14.

[9] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: Rajawali Pers, 1997. hlm. 39 – 54.

[10] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., op,cit,.. hlm. 277.

[11] Dr. Amir Machmud & H. Rukmana, S.E., M.Si., Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010. hlm. 21.

[12] Prof. H. Mohammad Daud Ali, op,cit,. hlm. 111 – 140.

2 thoughts on “hukum Islam di Indonesia

  1. Pingback: Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia « seputarilmu

Leave a comment